Ferry Sandria, M.I.Kom, (Pengamat Komunikasi Politik di Media Sosial)
OPINI, – Gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan di berbagai daerah Indonesia menjadi potret nyata kekecewaan rakyat terhadap DPR RI. Namun jika ditarik lebih dalam, kemarahan ini bukan semata ditujukan pada legislatif, melainkan juga menjadi simbol ketidakpuasan publik terhadap keseluruhan wajah pemerintahan, khususnya eksekutif.
Aksi massa yang pecah ini dipicu oleh sederet kebijakan DPR yang dianggap jauh dari aspirasi rakyat. Mulai dari kenaikan gaji dan tunjangan anggota dewan, aksi joget yang memicu kontroversi, hingga pernyataan-pernyataan arogan sebagian wakil rakyat.
Rakyat melihat DPR sebagai simbol pengkhianatan terhadap amanah, tapi dalam logika politik, kemarahan ini justru diberikan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan, program kerja dari pemerintahan eksekutif, sehingga DPR dinilai tidak melakukan checks and balances agar kebijakan negara tetap adil, transparan, dan pro-rakyat.
Dalam konteks ini, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat mendapat sorotan tajam. DPR dianggap gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, sehingga publik menilai mereka hanya menjadi perpanjangan tangan eksekutif.
Masyarakat kini mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya DPR bekerja? Jika tidak ada perbaikan komunikasi politik, transparansi, dan keseriusan dalam merespons tuntutan publik, maka kerusuhan ini hanya akan menjadi awal dari gelombang ketidakpuasan yang lebih besar.
Bagi masyarakat, membayar pajak bukan hanya kewajiban negara, tetapi investasi politik agar para wakil rakyat bisa bekerja memperjuangkan kepentingan mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. DPR yang digaji dari keringat rakyat dianggap sibuk mengurus kepentingan internal, menaikkan tunjangan, hingga melontarkan pernyataan yang menantang publik. Aksi joget di ruang sidang dan berbagai kontroversi hanya mempertebal persepsi bahwa DPR semakin jauh dari denyut penderitaan masyarakat.
Rakyat merasa dibohongi. Mereka berinvestasi dengan membayar pajak agar DPR memperjuangkan aspirasi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya DPR terkesan memperjuangkan dirinya sendiri.
Di Media Sosial, warganet ramai menyebarkan tuntutan rakyat yang ditujukan kepada DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Diantaranya, Sahkan RUU Perampasan Aset. Pecat anggota DPR yang menghina rakyat, batalkan kenaikan pajak, sampai ke pengadilan atas wafatnya Affan Kurniawan.
Sejarah Indonesia mencatat, janji politik yang diabaikan seringkali menjadi bahan bakar gelombang ketidakpuasan rakyat. Kini, publik menanti apakah kepemimpinan Prabowo Gibran akan menjadikan harapan itu nyata, atau membiarkan luapan amarah rakyat semakin membesar.